Jumat, 14 Desember 2018

Perang Dagang Antara Amerika Serikat VS Tiongkok


PERANG DAGANG ANTARA AMERIKA SERIKAT DENGAN TIONGKOK

Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok telah 'menembakkan salvo' pembukaan pada apa yang bisa memicu perang dagang besar-besaran antara dua ekonomi terbesar di dunia yang mulai melakukan 'penguncian' itu.
 Presiden AS Donald Trump mulai memberlakukan tarif sebesar 34 miliar dolar AS untuk barang-barang yang diimpor dari Tiongkok.
Termasuk di antaranya televisi layar datar, suku cadang pesawat, hingga peralatan medis.
Barang-barang yang ditandai untuk tarif saat ini, akan menghadapi pajak perbatasan sebesar 25 persen saat diekspor ke AS.
Intinya adalah, hal itu dilakukan untuk menghukum Tiongkok dengan membuat produk negara itu memiliki harga yang jauh lebih mahal bagi konsumen dan bisnis di AS.
Jika produk Tiongkok tiba-tiba menjadi lebih mahal, maka konsumen akan membeli produk yang sama dari tempat lain, sehingga hal itu membuat bisnis Tiongkok kehilangan uangnya.
Tiongkok pun segera menuduh AS telah memulai 'perang dagang terbesar dalam sejarah ekonomi hingga saat ini'.
Negara tersebut menanggapi apa yang diterapkan AS dengan memberlakukan tarif yang sama bagi barang yang diimpor dari AS.
Tiongkok menerapkan tarif 25 persen pada barang-barang AS senilai 34 miliar dolar AS, termasuk kedelai, mobil dan lobster.
Administrasi Trump mulai memberlakukan tarif ini setelah menyelesaikan penyelidikan pada beberapa praktik perdagangan Tiongkok yang paling kontroversial.
Hambatan perdagangan baru yang dilakukan AS itu dirancang untuk menghukum Tiongkok karena melakukan hal-hal seperti memaksa bisnis asing untuk menyerahkan teknologi mereka yang paling berharga kepada perusahaan Tiongkok.
Banyak di antaranya merupakan milik negara, dan itu dilakukan sebagai ganti untuk akses ke pasar mereka.Ini baru permulaan, masih ada penerapan tarif yang akan diberlakukan AS.

 AS diperkirakan akan mengenakan pajak perbatasan atas tambahan barang Tiongkok senilai 16 miliar dolar AS dalam dua pekan ke depan.
Presiden AS mengatakan  bahwa semua tergantung pada bagaimana Tiongkok menanggapi tarifnya.
Trump mempertimbangkan untuk membeli barang-barang Tiongkok senilai 500 miliar dolar AS.
Tarif putaran awal AS dan Tiongkok dirancang untuk saling 'menyengat' satu sama lain.
AS menargetkan barang-barang berteknologi tinggi Tiongkok untuk memberikan tekanan ekonomi pada program 'Made in China 2025'.
Program tersebut diprakarsai oleh pemerintah Tiongkok untuk mengubah Negeri Tirai Bambu itu menjadi negara pembangkit tenaga listrik yang maju.

Dampak  Positif dan Negatif Perang Dagang Amerika Vs Tiongkok terhadap Indonesia

 

1. Indonesia punya peluang ekspor

Akibat perang dagang itu, Indonesia punya potensi untuk mengekspor barang ke kedua negara itu. Tidak cuma itu, Indonesia juga bisa jadi negara ketiga yang "mengambil jatah" ekspor China dan Amerika.
Perang dagang itu dinilai Iman sangat kompleks. Salah satu sebab awalnya adalah pertumbuhan komoditas baja dan alumunium di China.
“Indonesia bisa jadi negara ketiga untuk beberapa produk yang dihasilkan China atau Amerika yang menggunakan input kedua negara itu supply menjadi terhambat,” Beberapa komoditas yang bisa diekspor Indonesia, kata Iman, adalah baja, alumunium, buah, dan besi.
Pasar Amerika misal baja dan aluminium itu terbuka buat Indonesia ,tapi perlu hati-hati. Untuk pasar China buah-buahan dan juga produk besi dan baja, serta aluminium.

2. Menurunnya ekspor bahan baku Indonesia ke China dan Amerika
Menurunnya ekspor bahan baku atau bahan penolong Indonesia ke China dan Amerika. Ini terjadi jika cakupan perang dagang meluas ke produk lain.
Tahap pertama dampak ke Indonesia ekspor kedua negara belum terlalu besar. Produk yang dihasilkan China kemudian diekspor ke Amerika itu ambil bahan baku dari Indonesia relatif sedikit. Begitu coverage diperluas.

3. Terjadi trade diversion yang bisa dimaksimalkan Indonesia

Karena persaingan pasar akibat perang dagang itu, akan terjadi trade diversion. Hal ini  terjadi akibat adanya intensif penurunan tarif, misalnya Indonesia yang sebelumnya selalu mengimpor gula dari China beralih menjadi mengimpor gula dari Thailand karena lebih murah.
“Produk yang dihasilkan China dan Amerika terhambat tarif yang tinggi di kedua negara dan akan cari jalan ke pasar lain ke semua negara. Indonesia salah satunya.

4. Harga Komoditas Paling Terpengaruh

Meningkatnya tensi perang dagang yang dipicu oleh pengenaan bea impor terhadap barang-barang tertentu, telah membuat permintaan komoditas melemah. Yang paling terasa tentu adalah sektor yang menjadi objek bea impor, yakni bahan pangan (khususnya kedelai) dan logam (khususnya besi dan baja). Industri logam merupakan sektor pertama yang dibidik AS dalam menaikkan tarif impor terhadap barang-barang China. Sementara itu, kedelai adalah komoditas yang dikenai bea impor balasan dari China terhadap AS.
Untuk Indonesia sendiri, pengaruh perang dagang bisa menjalar ke ekspor biodiesel dan Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit. CPO khususnya adalah salah satu produk ekspor utama Indonesia. Sebelum perang dagang saja, permintaan terhadap CPO sudah surut sehingga suplainya berlebih. Dengan meningkatnya konflik dagang, harga CPO dikhawatirkan semakin merosot.

Perang Dagang Bisa Berdampak Positif Untuk Indonesia

  1. Indonesia bisa memanfaatkan celah dari komoditas China yang dikenai bea impor oleh AS. Artinya, Indonesia bisa bersaing menawarkan produk terkait untuk menggantikan barang impor dari China yang telah mendapat batasan.
Selain itu, para pengusaha logam lokal dapat mendiversifikasi produk mereka, meski ada risiko dari peningkatan biaya produksi yang mesti dihadapi.

7       Cara Indonesia Mengantisipasi Pengaruh Perang Dagang



  1.  Menjaga stabilitas ekonomi.
  2. Menjaga kepercayaan publik.
  3. Melakukan efisiensi belanja publik.
  4. Melakukan inovasi baru dalam ekspor.
  5. Melakukan diversifikasi produk.
  6. Mencari alternatif baru tujuan ekspor, dan
  7. Menjaga koordinasi antar menteri agar tidak terjadi kepanikan.


Referensi :

 


Jumat, 07 Desember 2018

Rasio-rasio Keuangan


Rasio rasio Keuangan

Rasio Keuangan atau Financial Ratio merupakan alat analisis keuangan perusahaan untuk menilai kinerja suatu perusahaan berdasarkan perbandingan data keuangan yang terdapat pada pos laporan keuangan (neraca, laporan laba/rugi, laporan aliran kas). Pengertian rasio sebenarnya hanyalah alat yang dinyatakan dalam "aritmatical terms" yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara dua macam data keuangan.
           
Apa Kegunanya?
1.     Rasio keuangan merupakan angka-angka dan ikhtisar statistik yang lebih mudah dibaca dan ditafsirkan; dan merupakan pengganti yang lebih sederhana dari informasi yang disajikan laporan keuangan yang sangat rinci dan rumit.
2.     Memberikan gambaran tentang sejarah perusahaan serta penilaian terhadap keadaan suatu perusahaan tertentu.
3.     Memberikan gambaran kepada investor dan kreditor tentang baik atau buruknya keadaan atau posisi keuangan perusahaan dari suatu periode ke periode berikutnya.
4.     Dapat menentukan efisiensi kinerja dari manajer perusahaan yang diwujudkan dalam catatan keuangan dan laporan keuangan.
5.     Memungkinkan manajer keuangan untuk meramalkan reaksi para calon investor dan kreditur pada saat mencari tambahan dana.
6.     Dapat digunakan untuk membuat keputusan, pertimbangan dan prediksi berdasarkan tren tentang pencapaian perusahaan dan prospek pada masa datang.
7.    Menstandarkan ukuran penilaian perusahaan sehingga memudahkan dalam mengetahui posisi perusahaan di tengah industri lain.

JENIS - JENIS RASIO KEUANGAN

                     I.            Earning Rasio

  •        Dividend Per Share (DPS)

dividen merupakan pembagian sisa laba perusahaan yang didistribusikan kepada pemegang saham, atas persetujuan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).


                                               DPS   =   jumlah deviden yang dibayar
                                                                Jumlah lembar saham
  
                                              
  •     Earning Per Share  (EPS)


  Laba per Saham atau dalam bahasa Inggris disebut dengan Earning per Share yang disingkat dengan EPS adalah bagian dari laba perusahaan yang dialokasikan ke setiap saham yang beredar. Laba per saham atau Earning per Share ini merupakan indikator yang paling banyak digunakan untuk menilai profitabilitas suatu perusahaan.
EPS (Earning per Share atau Lembar per Saham) dihitung dengan membagi laba bersih setelah pajak dan dividen yang dibagikan dengan jumlah saham yang beredar. Earning per Share ini dapat dinyatakan dengan rumus EPS dibawah ini :

Laba per Saham (EPS) =  (Laba Bersih setelah Pajak  – Dividen)  / Jumlah Saham yang Beredar

 Laba per Saham yang tinggi menandakan profitabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan Laba per Saham yang rendah. Artinya, perusahaan dapat menghasilkan laba yang lebih tinggi untuk dibagikan ke pemegang sahamnya. Meskipun demikian, investor tidak hanya memperhatikan nilai dari Laba per lembar saham ini saja untuk membuat keputusan membeli atau tidak membeli saham pada perusahaan yang bersangkutan, karena pada dasarnya EPS ini dapat berubah menjadi tinggi apabila jumlah saham yang beredar dikurangi.
  •     Book Value Per Share (BVPS)


Book Value per Share (BVPS) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Nilai Buku per Saham adalah rasio yang digunakan untuk membandingkan ekuitas pemegang saham dengan jumlah saham yang beredar. Dengan kata lain, Rasio Book Value per Share ini digunakan untuk mengetahui berapa jumlah uang yang akan diterima oleh pemegang saham apabila suatu perusahaan dibubarkan (dilikuidasi) atau jumlah uang yang dapat diterima oleh pemegang saham apabila semua aktiva (aset) perusahaan dijual sebesar nilai bukunya.
Rumus Book Value per Share (BVPS) dapat dilihat seperti dibawah ini :

Book Value per Share = Total Ekuitas / Jumlah Saham yang Beredar
atau
Book Value per Share = (Aset – Hutang) / Jumlah Saham yang beredar

  •     Cash Flow Per Share (CFPS)

cash flow per share ialah aliran kas sebuah perusahaan dibagi dengan jumlah saham yang beredar. Semakin besar angka ini artinya perusahaan tersebut semakin sehat. Karena jumlah kas yang ada di perusahaan tersebut dapat menutupi semua saham yang beredar. Ini umumnya cukup sulit tercapai jika perusahaan tersebut selalu menjual secara kredit. Karena walaupun aset ataupun keuntungan yang tercatat di pembukuan jumlahnya besar, namun kenyataannya sebagian kas belum ada di tangan perusahaan tersebut. Tentu saja ini bukan masalah jika perusahaan mempunyai manajemen yang baik terhadap hutang piutangnya.

CFPS  =          Aliran kas
               Jumlah saham yang beredar

  •    Cash Equivalent Per Share (CEPS)


Merupakan keamanan investasi untuk jangka pendek yang darimana uang tersebut bukan berasal dari pinjaman.
Rumus CEPS :

CEPS =  Total kas yang beredar
                Jumlah saham yang beredar

  •    Net Assets Value Per Share (NAVS) 


Pernyataan untuk nilai aset/kekayaan yang mewakili nilai persaham dari dana yang sama,pertukaran dana yang diperdagangkan ,atau dana penutupan.
Rumus NAVS :

NAVS =          Nilai Asset
                  Jumlah saham yang beredar

                   II.            Valuation Ratio

  •     Price Earning Ratio (PER)  

Price to Earning Ratio atau sering disingkat dengan PER (P/E Ratio) adalah rasio valuasi investasi yang membandingkan harga per lembar saham perusahaan saat ini dengan laba bersih per sahamnya (Price per Share / Earning per Share). Dengan menghitung Rasio P/E atau Price Earning Ratio, kita dapat mengetahui seberapa besar harga yang ingin dibayar oleh pasar terhadap pendapatan atau laba suatu perusahaan. Dalam Bahasa Indonesia, Price to Earning Ratio ini sering disebut dengan Rasio Harga terhadap Pendapatan.
                         Rumus PER (Price Earning Ratio) :

                           Harga Saham / EPS (Earning Per Share)
                          Ket: Earning Per Share (Laba Bersih Per Saham).

  •     Price Book Value Ratio (PBVR) 


Price to Book Value (PBV) adalah rasio valuasi investasi yang sering digunakan oleh investor untuk membandingkan nilai pasar saham perusahaan dengan nilai bukunya (Price per share / Book Value per share).  Rasio PBV ini menunjukan berapa banyak pemegang saham yang membiayai aset bersih perusahaan. Rasio ini membantu investor untuk membandingkan nilai pasar atau harga saham yang mereka bayar per saham dengan ukuran tradisional nilai suatu perusahaan. Dalam Bahasa Indonesia, Price to Book Value Ratio ini disebut dengan Rasio Harga terhadap Nilai Buku.
                           Rumus PBVR :                           
                                harga saham (Price) / Nilai Buku (Book Value)

  •       Price Cash Flow Ratio (PCFR)

Price to Cash Flow Ratio (PCFR atau P/CF Ratio) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Harga Terhadap Arus Kas adalah rasio valuasi investasi yang digunakan oleh investor untuk mengevaluasi daya tarik investasi terhadap saham suatu perusahaan dengan membandingkan harga saham suatu perusahaan dengan arus kas perusahaan tersebut. Dengan kata lain, Price to Cash Flow Rasio ini menunjukan jumlah uang yang bersedia dibayar oleh Investor untuk arus kas yang dihasilkan oleh perusahaan.
                       Price to Cash Flow Ratio atau Rasio Harga terhadap Arus kas dapat dihitung  dengan membagi HARGA SAHAM (Price per Share) dengan ARUS KAS per SAHAM (Cash Flow per Share).
Persamaan atau Rumus Price to Cash Flow Ratio dapat ditulis seperti berikut ini :

Price to Cash Flow Ratio = Harga Saham / Arus Kas per Saham

Price to Cash Flow Ratio ini juga bisa dihitung dengan menggunakan Kapitalisasi Pasar. Persamaan atau Rumusnya dapat ditulis seperti dibawah ini :

Price to Cash Flow Ratio = Kapitalisasi Pasar / Arus Kas



  •     Price Sales Ratio (PSR)


Price to Sales Ratio (PSR atau P/S Ratio) adalah rasio valuasi investasi yang membandingkan harga saham perusahaan dengan penjualan tahunannya (Price per share / Revenue per share). Sama dengan Price to Earning Ratio (PER) dan Price/Earning to Growth Ratio (PEG), Price to Sales Ratio (PSR) biasanya juga digunakan untuk mengukur nilai saham suatu perusahaan. Dalam bahasa Indonesia, Price to Sales Ratio ini sering juga disebut dengan Rasio Harga terhadap Penjualan.
         Price to Sales Ratio = Harga per Saham / Pendapatan per Saham
Atau
       Price to Sales Ratio = Kapitalisasi Pasar / Penjualan

                III.            Profitability Ratio

  •     Operating Profit Margin (OPM)


Margin Laba Operasional digunakan untuk mengukur strategi harga dan efisiensi operasional sebuah perusahaan.
Laba Operasional dihitung dengan mengurangi Penjualan dengan Biaya Operasional (yaitu Harga Pokok Produksi, Gaji) dan Depresiasi. Untuk menghitung Margin Laba Operasional, Anda harus membagi Laba Operasional dengan Penjualan Bersih. Penjualan Bersih adalah Total Penjualan dikurangi dengan Retur Produk, Produk Hilang atau Rusak, dan Diskon.
Margin Laba Operasional dapat dihitung sebagai berikut:
Margin Laba Operasional = Laba Operasional / Penjualan Bersih

Semakin tinggi Margin Laba Operasional, semakin bagus keuntungan sebuah perusahaan. Sebagai contoh, jika perusahaan A mempunyai Margin Laba Operasional 5% dan perusahaan B mempunyai Margin Laba Operasional 20%, maka jika ada penurunan penjualan tahun ini, perusahaan A akan kesulitan dalam menutupi biaya tetapnya
                             
  •     Net Profit Margin (NPM)


Net profit margin atau margin laba bersih merupakan rasio profitabilitas untuk menilai persentase laba bersih yang didapat setelah dikurangi pajak terhadap pendapatan yang diperoleh dari penjualan. Margin laba bersih ini disebut juga profit margin ratio. Rasio ini mengukur laba bersih setelah pajak terhadap penjualan. Semakin tinggi Net profit margin semakin baik operasi suatu perusahaan. 
Net profit margin dihitung dengan rumus berikut ini.
Setelah Pajak Net Profit Margin = Laba Bersih: Penjualan

  •      Return On Assets (ROA)


Tingkat pengembalian aset merupakan rasio profitabilitas untuk menilai persentase keuntungan (laba) yang diperoleh perusahaan terkait sumber daya atau total asset sehingga efisiensi suatu perusahaan dalam mengelola asetnya bisa terlihat dari persentase rasio ini.
Rumus Rasio Pengembalian Aset sebagai berikut.
ROA = Laba Bersih : Total Aset

  •       Return On Equity (ROE)

Return on Equity Ratio (ROE) merupakan rasio profitabilitas untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari investasi pemegang saham perusahaan tersebut yang dinyatakan dalam persentase. ROE dihitung dari penghasilan (income) perusahaan terhadap modal yang diinvestasikan oleh para pemilik perusahaan (pemegang saham biasa dan pemegang saham preferen). Return on equity menunjukkan seberapa berhasil perusahaan mengelola modalnya (net worth), sehingga tingkat keuntungan diukur dari investasi pemilik modal atau pemegang saham perusahaan. ROE yaitu rentabilitas modal sendiri atau yang disebut rentabilitas usaha. Rumus Return On Equity sebagai berikut.
ROE = Laba Bersih Setelah Pajak : Ekuitas Pemegang saham

  •     Earning Before Taxing (EBIT)

Earnings Before Interest & Taxes (EBIT) atau Pendapatan Sebelum Bunga & Pajak merupakan indikator profitabilitas perusahaan, dihitung sebagai pendapatan dikurangi biaya, tidak termasuk pajak dan bunga.
EBIT dihitung sebagai berikut:

EBIT = Pendapatan – Biaya Operasional
atau
EBIT = Laba Bersih + Bunga + Pajak

EBIT juga disebut sebagai Operating Earnings, Operating Profit, dan Profit Before Interest and Taxes (PBIT).
EBIT digunakan untuk mengukur laba yang dihasilkan perusahaan dari operasinya, sehingga identik dengan “laba operasi”.

                IV.            Liquidity Ratio

  •    Debt to Equity Ratio (DER)


Debt to Equity Ratio atau DER adalah rasio keuangan utama dan digunakan untuk menilai posisi keuangan suatu perusahaan. Rasio ini juga merupakan ukuran kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajibannya.  Rasio Debt to Equity ini merupakan rasio penting untuk diperhatikan pada saat memeriksa kesehatan keuangan perusahaan. Jika rasionya meningkat, ini artinya perusahaan dibiayai oleh kreditor (pemberi hutang) dan bukan dari sumber keuangannya sendiri yang mungkin merupakan trend yang cukup berbahaya. Pemberi pinjaman dan Investor biasanya memilih Debt to Equity Ratio yang rendah karena kepentingan mereka lebih terlindungi jika terjadi penurunan bisnis pada perusahaan yang bersangkutan. 
Rasio Hutang Terhadap Ekuitas atau Debt to Equity Ratio (DER) dihitung dengan cara mengambil total kewajiban hutang (Liabilities) dan membaginya dengan Ekuitas (Equity). Berikut dibawah ini adalah Rumus Debt to Equity Ratio (DER).
                                     Debt to Equity Ratio (DER) = Total Hutang / Ekuitas

Referensi :